top of page

FOMO vs JOMO: Menemukan Tenang di Era Media Sosial

Oleh: Auralia Rezqi
Oleh: Auralia Rezqi

Saat membuka media sosial, kita sering melihat postingan beragam dari teman maupun orang asing. Ada yang liburan ke pantai, hangout bareng orang tersayang, pamer aktivitas keren, atau bahkan merayakan pencapaian besar. Karena seringnya kita terpapar dengan berbagai macam informasi, membuat kita muncul rasa “ Apa aku ketinggalan, ya?”, yang membuat kita jadi membandingkan diri dengan kehidupan orang lain. Padahal, perjalanan hidup setiap orang itu unik dan nggak bisa dibandingkan begitu saja. Banyak segala aspek hidup kita yang berbeda dan tidak bisa disamakan dengan standar hidup orang lain. Fenomena ini sering disebut FOMO (Fear of Missing Out), dan ternyata banyak dialami oleh generasi kita di era saat ini. Tapi, apakah benar kita itu ‘ketinggalan’? Atau justru ada sisi lain yang bisa bikin kita lebih bahagia tanpa harus kita membandingkan?


Apa itu FOMO?

FOMO atau Fear of Missing Out adalah perasaan takut tertinggal yang dirasakan seseorang karena ketinggalan aktivitas atau hal baru (Taswiyah, 2022). Biasanya FOMO ini terjadi dikarenakan terdapat orang yang memiliki tingkat FOMO yang tinggi ataupun dikarenakan algoritma dari sosial media yang menunjukan postingan seperti highlight kehidupan orang lain. Menurut temuan Przybylski et al. (2013), FOMO mendorong individu lebih sering menggunakan internet dan media sosial. Kondisi ini paling banyak dialami remaja dan dewasa awal, dipengaruhi oleh kepuasan hidup yang rendah, serta dapat diperburuk oleh penggunaan internet di situasi yang membutuhkan fokus, misalnya belajar atau mengemudi.  Berdasarkan riset sebelumnya menunjukkan bahwa FOMO terdiri dari iritabilitas, kecemasan, dan perasaan tidak cukup, dengan perasaan iritabilitas, kecemasan, dan ketidakcukupan individu semakin intensif ketika mereka melihat media sosial (JWTIntelligence 2012; Wortham, 2011). 


Mengapa orang bisa menjadi FOMO?

Orang dapat menjadi FOMO dikarenakan terdapat beberapa faktor. Pertama, kebutuhan sosial (need to belong) dalam hal ini membuat individu merasa harus selalu terhubung dengan orang lain agar tetap diterima dalam lingkungannya. Kedua, adanya perbandingan sosial (social comparison) yang mendorong individu untuk menilai dirinya berdasarkan standar atau pencapaian orang lain yang ditampilkan berdasarkan media sosial. Hal ini seringkali menimbulkan rasa tidak puas terhadap diri sendiri. Ketiga, fear of rejection atau ketakutan akan penolakan, yaitu kecemasan bahwa jika tidak mengikuti tren atau aktivitas yang sedang berlangsung, individu akan dikucilkan atau tertinggal dari kelompok sosialnya. Faktor-faktor psikologis ini saling berhubungan sehingga memperkuat munculnya FOMO dalam kehidupan sehari-hari.


Apa itu JOMO ?

Menurut Kiding dan Matulessy (2019) JOMO adalah cara hidup yang lebih santai, dan tidak ada masalah jika lambat dalam mempelajari berita. JOMO justru menekankan pada rasa tenang dan bahagia saat memilih untuk tidak selalu ikut serta dalam semua hal. Inti dari JOMO adalah mindfulness, yaitu kemampuan hadir penuh di momen sekarang tanpa merasa bersalah atau terganggu oleh apa yang dilakukan orang lain.

Dalam JOMO, seseorang belajar untuk merasakan rasa cukup (contentment) dengan hidupnya sendiri, tanpa terus membandingkan diri dengan standar sosial media. Dengan begitu, waktu yang dimiliki bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih bermakna, entah itu beristirahat, menghabiskan waktu dengan orang terdekat, atau sekadar menikmati aktivitas sederhana sehari-hari.

Praktik JOMO mendorong individu untuk menemukan kebahagiaan dari pilihan sadar, bukan dari tekanan sosial. Alih-alih bertanya “Apa aku ketinggalan?”, JOMO mengajarkan untuk berpikir “Biar orang lain sibuk dengan dunianya, aku juga punya cara sendiri buat merasa puas dan tenang”. Salah satu tips yang disarankan oleh (American Psychological Association, 2010) dalam menjalankan perubahan gaya hidup, yaitu melibatkan teman, keluarga, rekan kerja atau bergabung dalam kelompok yang mendukung. 


Rutinitas Mini, Hati Lebih Tenang

  • Bikin batas waktu main sosial media.

  • Journaling gratitude (bikin list 3 hal kecil tiap hari).

  • Mindful moment (menikmati kopi tanpa HP, atau sekedar duduk melihat pemandangan luar).

  • Reframe pikiran: "Aku nggak ketinggalan, aku lagi prioritasin diriku."

Dengan cara ini bisa kita lakukan dalam keseharian kita, ini bisa menjadi langkah kecil untuk memulai kebiasaan baru dan akan mulai terbiasa jika konsisten. Setelah kita menjadikannya sebuah kebiasaan, ketergantungan kita terhadap sosial media pun berkurang.


Bukan Ketinggalan, Tapi Prioritas Diri

Pada akhirnya, hidup bukanlah tentang seberapa cepat kita mengikuti langkah orang lain, melainkan tentang bagaimana kita menikmati langkah kita sendiri. FOMO mungkin membuat kita merasa tertinggal, tapi dengan memilih JOMO, kita belajar bahwa kebahagiaan sejati ada pada rasa cukup, tenang, dan hadir di momen kini. Jadi, yuk pelan-pelan belajar untuk berhenti membandingkan, dan mulai merayakan versi terbaik dari diri kita sendiri.


 
 
 

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
bottom of page